Kondisi PMII Mirip dengan NU Tahun 1973

12/05/2009


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dideklarasikan pada 17 April 1960, dimotori oleh kalangan muda NU yang tergabung dalam Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Waktu itu mahasiswa NU sudah tidak nyaman di IPNU. Mungkin karena mereka sudah tidak berstatus pelajar lagi. Sementara organisasi kemahasiswaan yang ada tidak cukup bisa menjadi saluran aspirasi mahasiswa NU. Maka melalui proses yang berliku, terbentuklah PMII.

Namun pada 14 Juli 1971 melalui Deklarasi Murnajati PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun, termasuk NU. Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Inilah fase baru keterkaitan PMII dengan NU. PMII sudah bukan kepanjangan tangan NU; sudah tidak berkantor di PBNU. Hubungan PMII dan NU hanya sebatas kultural saja. Ada banyak sebab waktu itu, termasuk ketidakjelasan NU apakah sebagai ormas, atau partai politik. PMII tidak betah dengan itu. Sementara Orde Baru juga mulai melokalisir gerakan kemahasiswaan di dalam kampus masing-masing.



Masih dalam suasana peringatan hari lahir ke-49 PMII kemarin, A. Khoirul Anam dari NU Online sempat berbincang dengan salah seorang pendiri PMII M. Said Budairy di rumahnya Jl Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Sabtu (9/5). Said Budairy (73) adalah salah satu dari 13 tokoh mahasiswa dalam IPNU yang merintis pendirian PMII. Ia juga salah satu dari 3 orang perwakilan yang menghadap Ketua Umum PBNU KH Idham Kholid melaporkan rencana pendirian organisasi mahasiswa NU ini. Pada saat PMII dideklarasikan, Said Budairy menjabat sebagai sekretaris umumnya.

Bagaimana Anda melihat PMII sekarang?

Memang banyak kritik terhadap perkembangan PMII belakangan ini, terutama yang nampak di depan mata, di Jakarta dan sekitarnya, baik dari soal pemikiran keagaamaannya, juga soal pergerakannya. Sementara para seniornya yang sudah terjun ke masyarakat tidak cukup memberikan contoh yang baik. Nah karena Anda meminta hal ini, saya buka-buka kembali dokumen-dokumen yang saya punya terutama Deklarasi Tawangmangu. Dalam deklarasi itu lengkap mulai dari mau kema dan bagaimana PMII itu, hubungan dengan dengan NU dan sebagainya.

Ada keinginan sebagian kalangan tua agar PMII merapat lagi ke NU. Bagaimana menurut Anda?

Saya kira tidak perlu. Tarulah PMII terpotong pada tahun 73, di situ juga ada rumusan-rumusan tentang interdependensi PMII terhadap NU. Tapi di situ jelas sekali hubungan kulturalnya. Kalau kemudian terjadi penyimpangan itu nggak usah dari NU-nya lah, tapi penyimpangan-penyimpangan dari prinsip-prinsip yang dibangun oleh PMII sendiri. Nah kalau prinsip itu saja yang dipikirkan kembali dijadikan sarana untuk menyadarkan para sahabat PMII, mulai dari pengurus besarnya sampai ke tingkat bawah, saya kira ini salah satu jalan terbaik yang bisa ditempuh. Nah ini juga tergantung bagaimana PB PMII sekarang. Saya nggak tahu juga sikap mereka terhadap perkembangan para alumni PMII yang sekarang ada di berbagai organisasi politik.

Apa yang Anda amati dari para alumni PMII?

Saya terus terang aja risau. Ada dua mantan ketua Umum PB PMII yang membiarkan PKB kemasukan Artalita dan Sigid, gimana itu? Kemudian dua ketua umum ini berantem sendiri; antara Muhaimin sama Ali Masykur. Lalu, kalau merujuk kepada yang saya bilang tadi prinsip-prinsip dasar dan interdependensi PMII terhadap NU, mestinya tidak bisa membiarkan Nursyahbani itu. Kalau NU mendukung RUU Pornografi tapi Nursyahbani sebagai anggota fraksi PKB justru menentang itu. Ini kog bisa.

Itu yang di PKB. Lalu yang di PPP coba! Waktu itu Hamzah Haz mau mau digusur oleh Suryadharma bekerjasama dengan Bachtiar Chamsyah dari unsur Muslimin Indonesia (MI). Kemudian hamzah jatuh. Padahal bagaimanapun Hamzah itu ada hubungannya dengan PMII. Nah waktu itu Suryadharma maju dengan dukungan MI bersaing dengan Aris Mudatsir. Keduanya kader-kader utama PMII lah. Nah sekarang ini Arif Mudatsir membantu Bahtiar dari MI itu untuk memusuhi Suryadharma. Saya pikir mereka melakukan introspeksi begitu lah bagaimana membawa perahu PPP ini dengan warna yang dulu dirumuskan dalam PMII, ternyata tidak. Saya kira kalau mereka mau berangkat dari prinsip-prinsip PMII itu tidak akan terjadi.

Apa yang perlu dilakukan sekarang?

Jadi saya mendukung pemikiran bagaimana PMII kembali ke Khittahnya lah. Caranya berangkat dari deklarasi Tawangmangu itu, lalu deklarasi tahun 73 itu.

Sekarang para alumni bergabung di IKA-PMII

Nah sedihnya itu sekarang ketua alumninya si Arif Mudatsir, gimana jadinya itu. Sibuk boleh tapi kan dia ikut berantem. Kan ngeri juga. Saya harapkan back to basic-lah. Banyak perubahan karena sistem penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah, tapi substansi yang ada di situ itu masih sangat relevan untuk dipegangi.

Sebagai senior apakah anda sempat menjadi semacam pengengah begitu?

Saya sendiri pernah memanfaatkan posisi sebagai orang tua ketika PKB pecah. Saya kirim SMS kepada Muhaimin, Ali Masykur dan Efendy Choiri. Saya melihat memang Gus Dur waktu itu sudah tidak bener. Saya SMS tiga orang itu, sudahlah bergabung saja sama Muhaimin. Saya yakin muhaimin bisa melindungi anda. Nah yang mau mengikuti saran saya itu sepertinya Effendy, meskipun dia tiadk balas SMS saya tapi saya perhatikan perilakunya. Ali Masykur tidak menjawab. Hanya Muhaimin yang menjawab, terimakasih begitu. Nah itu pernah saya lakukan. Nah kalau sekarang ini ada krisis yang baru lagi ini di PPP, mungkin saya perlu juga melakukan hal yang sama, namun mungkin sesudah proses pertarungannya selesai nanti.

Sepertinya fragmentasi di tingkat alumni ini menurun sampai ke bawah

Ini karena mereka kehilangan pegangan awalnya, prinsip yang dulu dijadikan bergerak. Sekarang mereka semaunya sendiri. Idealismenya sudah tertutup jadi pragmatis. PMII ini sudah 49 tahun. Insyaaallah sekarang ini mirip dengan kondisi NU pada tahun 1973. Waktu itu warga NU terombang-ambing; apakah NU ini ormas apa partai. Akhirnya kiai-kiai bergerak sampai kemudian terfikir untuk kembali ke khittah NU 1926. Saya pikir kalu pendekatan itu yang dilakukan di PMII saya kira bisa juga.

PMII kembali ke Khittah yang mana?

Jadi ada sekian banyak pokok-pokok pikiran yang ada di PMII, mulai Deklarasi Tawangmangu, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan Yogyakarta, Penegasan Yogyakarta, Gelora Mega Mendung, Panca Norma Kopri, Tri Sikap Jakarta. Ada juga Memorandum Politik, Deklarasi Munarjati, Manifes Independensi Pmii, Pola Kepemimpinan, Pernyataan Ciloto, Pokok-pokok Pikiran Ciloto, Pokok Pikiran Tentang Pemilu, Penegasan Cikogo, Pokok-pokok Pikiran Mubes ke-4 PMII, Rekomendasi Mubes IV PMII, Pokok-pokok Pikiran Kongres ke-10, Pernyataan Politik Kongres ke-10, Keputusan Pondok Gede, Deklarasi Interdependensi PMII dengan NU, Implementasi Interdependensi PMII NU, Pokok-pokok pikiran rekomendasi Musyawarah I, Rekomendasi Kongres ke-11, dan lain-lain. Saya kira dari perumusan ulang dari membaca kembali dokumen dokumen ini bisa menjadi perumusan Khittah PMII.

Dalam kontek para alumni PMII pada berantem tadi, apa yang bisa Anda sampaikan sebagai orang tua kepada kader PMII sekarang?

Jadi begini, kadang-kadang yang tua itu sudah lupa bagaimana perjalannya sebelumnya. Yang masih fresh ingat itu justru yang masih di lapangan, yang sekarang ini aktif. Saya kog ingin supaya PB PMII menyurati mereka itu. Ungkapkan yang saya sampaikan tadi itu demi kehormatan PMII, supaya masalah itu bisa teratasi. Supaya alumni PMI itu menjadi satu kekuatan meskipun dalam wadah yang berbeda beda. Itu yang saya pikirkan. Sebab kalau PBNU yang ngingetin juga sudah tidak relevan lagi. Kalau perorangan seperti saya juga tidak. Tapi kalau PB PMII nya kan pantes-pantes saja. Dan juga supaya diingat agar dalam kaderisasi itu berantem seperti itu jangan sampai terjadi pada masa yang akan datang.

Bagaimana Anda melihat Kiprah dari Ketua Umum PB PMII sekarang?

Saya sering melihatnya di Face Book. Ini memang jadi sebuah sarana berkomunikasi yang lebih terbuka. Tapi saya kira wibawa sebagai ketua umum itu perlu dijaga. Aktivitas macem-macem nggak perlulah itu ditunjukkan di Face Book. ***

Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

IPNU-IPPNU Gantikan PMII?

SURAT TERBUKA UNTUK PBNU: IPNU-IPPNU Gantikan PMII?
30/06/2009
Oleh Munandar Nugraha Saputra

Setiap kelompok yang menginstitusikan diri, selalu dan pasti, memiliki visi dan misi yang baik; minimal baik bagi komunitasnya, dan maksimalnya dapat memberikan sumbangsih kebaikan tersebut kepada khalayak publik, bangsa dan negara.

Dalam konteks keorganisasian, khususnya organisasi kepemudaan, juga memiliki tampilan yang serupa. Ketika didirikan, ia memiliki visi dan misi yang ideal, bahkan dilandasi dengan ideologi yang disepakati dan menjadi kesepakatan bersama. Selanjutnya dalam perjalanannya pasti akan ada pasang surut. Ini sangatlah wajar dan manusiawi.


Organisasi seperti PMII misalnya, selain wadah untuk menampung mahasiswa nahdliyin, melakukan proses kaderisasi yang berfungsi membangun dan mengembangkan potensi kader, agar dapat berguna bagi bangsa dan Negara (pandangan hidup), juga memiliki fanatisme organisasi (ideologi); bahwa PMII lebih baik dari HMI, IMM, dan lainnya. Bahkan mungkin juga lebih baik dari IPNU/IPPNU, yang dalam sejarahnya dilahirkan dari rahim yang sama. Ya, jika perasaan ini yang dikedepankan, pasti! Kita tidak akan dapat bersinergi, dan tentunya ini sangat merugikan kita.

Garis sejarah, memang tidak dapat diubah dan dipungkiri. Maka saya pikir kita juga perlu melihat kontekstualisasi permasalahan terkait kritik yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan Khofifah (Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU) dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Dikatakan bahwa kader PMII tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. ”PMII tidak optimal melakukan proses kaderisasi NU di tingkat kampus, dan Banyak kader PMII yang sudah mulai meninggalkan tradisi nahdliyin. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?” (NU Online, Senin 22/6).

Saya pikir yang mesti dipahami bersama adalah, bahwa PMII adalah organisasi yang independen dari NU, dan hal ini harusnya menjadi pemahaman bersama, baik dalam konteks wacana maupun gerak, benar bahwa secara kultural PMII masih memiliki keterkaitan emosional seperti yang saya sebut di atas. Lalu dalam perkembangannya, dengan mengaktualisasikan wacana dan gagasan pluralisme, PMII berkembang menjadi organisasi yang inklusif. Artinya, jika para pengurus NU memahami hal ini dalam perspektif struktural organisasi dan perkembangan PMII, tidak selayaknya kritik itu disampaikan dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Sekalipun dalam perspektif lain, kita dapat pahami bahwa NU masih membutuhkan PMII sebagai basis kaderisasi di perguruan tinggi. Karena kita memang butuh kritik untuk berbenah. Bahasa yang sering disampaikan kepada para kader adalah “mengkritik bukan berarti tidak mendukung, dan mendukung juga bukan berarti tidak mengkritik.” Jadi sebagai kader PMII, saya mengucapkan terimakasih, karena jika kita tanggapi dengan bijak ini juga dapat bermanfaat.

Kita memang mengalami kesulitan dalam proses rekruitmen dan kaderisasi, khususnya di kampus-kampus umum. Tetapi ini bukan hanya dialami oleh PMII, hal yang sama juga dialami oleh OKP-OKP yang lain. Pertanyaannya, apakah hal itu tidak dialami oleh IPNU/IPPNU? Basis garapan PMII adalah kampus-kampus, lalu dimana basis real garapan IPNU/IPPNU? Ini penting untuk kita rumuskan dan sepakati bersama, karena memang hanya di Indonesia yang memiliki perbedaan status antara pelajar (siswa SD-SMU/sederajat) dan mahasiswa (siswa di perguruan tinggi), keduanya masih pelajar, yang di dunia lain di sebut student. Saya melihat dan memahami, pernyataan dan kritik terhadap PMII, yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi dan Khofifah tersebut sangat emosional dan cenderung menyudutkan, tidak konstuktif.

Pernyataan Khofifah, "kader PMII yang tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?”. Saya pikir ini adalah pernyataan yang sangat tidak aswaja. Ya, penting bagi kita untuk memahami setiap permasalahan sesuai konteks (nilai-nilai Aswaja). Saya berproses di PMII melalui Komisariat Universitas Nasional, kampus umum. Ketertarikan saya terhadap PMII lebih pada wilayah kajian-kajian sosial dan gerakan advokasi, bahkan ada beberapa kader yang saya rekrut yang memiliki dasar kultur keluarga Muhammadiyah, dan ini terjadi hampir disetiap kampus umum, bahkan ada beberapa kader UNAS yang beragama Kristen Protestan. Jangankan tahlil, subuh saja tidak menggunakan qunut, bahkan ada yang tidak sholat. Apakah kader yang ingin berproses ini harus dipecat dari PMII?

Wacana ke-Islaman yang rahmatan lil alamin dan ke-Indonesiaan yang selama ini kita dengungkan dan terekspresi dalam derap langkah perjuangan nahdliyin, apakah akan kita jadikan sebagai teks dan wacana belaka? Artinya kita akan mengalami proses kemunduran dalam derap langkah perjuangan kita.

Semestinya kita dapat berjuang dengan mengunakan segala potensi yang kita miliki sebagai kekuatan yang saling melengkapi, perbedaan karakter dan pola gerak, justru seharusnya memperkaya kita dalam khasanah strategi, karena memang sudah sunatullah bahwa kita diciptakan berbeda-beda. Jika memang PBNU merasa penting untuk membuat organisasi kemahasiswaan yang khusus untuk menjaga tradisi NU, dan berada di bawah kontrolnya, saya pikir sah-sah saja (mendorong IPNU/IPPNU untuk menggantikan PMII, atau lebih tepatnya mendorong IPNU/IPPNU menjadi basis kaderisasi NU di Perguruan Tinggi).

Tetapi jangan pernah berpikir untuk menarik PMII berada dibawah garis struktural PBNU seperti pada awal terbentuknya (karena inilah perkembangan zaman yang harus dilihat dari perspektif hari ini). Apalagi berpikir untuk mempolitisasi PMII sesuai dengan kebijakan politik PBNU, jangan, jangan lakukan itu! Biarkan PMII menjadi dirinya sendiri, sebagai bagian dari warga NU yang berposisi dengan posisinya.

Kita memiliki “PR” besar bagi bangsa ini, yang lebih penting untuk kita tuntaskan. Saya ingin sedikit berceloteh, jika memang NU merupakan organisasi terbesar dengan umat terbanyak, dengan segala potensi yang dimilikinya, mungkinkah dapat mensejahterakan sebagian besar umat nahdliyin yang masih berada dibawah garis kemiskinan? Tidak mungkin, tanpa bersinergi dengan kekuatan dan potensi-potensi lain di luar NU.

Semoga kita dapat bersinergi untuk menuntaskan segala permasalahan bangsa ini, dengan mengedepankan segala potensi yang kita miliki, karena untuk menuntaskan permasalahan bangsa ini kita membutuhkan berbagai potensi untuk bersinergi. Jangan sampai harapan untuk berbuat sesuatu justru menghilangkan sesuatu yang ada.

* Penulis adalah Ketua PMII Cabang Jakarta Selatan
Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

Mengenang M Iqbal Assegaf


Tauladan Besar seorang besar M Iqbal Assegaf bagi semua pergerakan, khususnya PMII. Dia dilahirkan dalam kesederhanaan dan jiwa pemimpin yang tinggi. Tauladan bagi adek-adeknya.

Dalam edisi ini Kami sengaja memberikan ringkasan perjalanan M Iqbal Assegaf. Semoga kehadiran M Iqbal Assegaf waktu lampau mampu memberikan tauladan dan semangat pergerakan mahasiswa yang amanah dan konsisten..


Lahir di Labuha Maluku pada 12 Oktober 1958, Riwayat Pendidikan: SD Islamiyah I Ternate (1971), Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairat (1972), SMP Negeri Ternate (1974), SMA Negeri Ternate (1977), Fakultas Kedokteran Hewan IPB (1983), Institut Of Management IEU Jakarta (1993). Pengalaman Organisasi: Ketua Umum OSIS SMP Negeri Ternate (1972-1973), Ketua Umum OSIS SMP Negeri Ternate (1976-1977), Ketua Badan Kerohanian Islam Keluarga Mahasiswa IPB Bogor (1979-1981), Sekjen Badan Perwakilan Mahasiswa Fak. Kedokteran Hewan IPB Bogor (1982-1984), Sekjen Majlis Permusyawaratan Mahasiswa IPB Bogor (1982-1984), Ketua Umum PMII Cabang Bogor (1981-1983), Ketua Umum PB PMII periode 1988-1991, hasil Kongres IX PMII di Asrama Haji Surabaya Jawa Timur, dia menduduki jabatan sebagai Ketua Umum PB PMII setelah berhasil menang dengan suara mutlak dari saingannya Syaifullah Maksum.

Setelah melepas jabatan sebagai Ketua Umum PB PMII, ia langsung menjadi Ketua Dewan Pembina PB PMII pada periode berikutnya, 1991-1994. Ini baru pertama kali terjadi dalam organisasi PMII. Wakil Ketua Majlis Pemuda Indonesia (1987-1990), Anggota Pengurus Group Diskusi Nasional (GDN) Kosgoro (1992-1994), Anggota Pokja Hankam DPP Golkar (1988-193). Ia adalah tokoh PMII yang pernah menawarkan sesuatu yang dianggap baru dalam lingkungan dunia kepemudaan di Indonesia melalui proses “debat langsung” para kandidat Ketua Umum DPP KNPI tahun 1993.

Meski akhirnya ia dikhianati oleh kadernya sendiri, Ketua Umum PB PMII saat itu (Ali Masykur Musa) dengan tidak mendukungnya dan meninggalkan di tengah perjalanan, bahkan Ali Masykur berpaling mendukung calon dari Kosgoro, Maulana Isman, padahal beberapa hari sebelumnya PB PMII secara resmi mengumumkan secara terbuka kepada pers, bahwa PMII mencalonkan Iqbal Assegaf sebagai calon Ketua Umum DPP KNPI, tetapi sebagai kader PMII yang memiliki prinsip dan keyakinan tinggi, Iqbal jalan terus memperjuangkan nilai dan keyakinannya itu.

Iqbal adalah Ketua Umum PB PMII yang relatif dianggap paling sukses memimpin dan membesarkan PMII, setelah Mahbub dan Zamroni. Ia pernah bersikap sangat tegas menolak gagasan dan saran sebagian tokoh dan kiai-kiai NU yang menginginkan agar PMII kembali “Dependen dengan NU”. Sikap tegas itu ia tunjukkan dengan mengeluarkan keputusan “Penegasan Cibogo”. Sehubungan dengan itu, ia pernah megeluarkan statemen “PMII dengan rendah hati siap menerima pendapat, gagasan, dan saran, bahkan kritik dari siapapun, tetapi keputusan tetap berada di tangan PMII”. Itulah cermin dari sikap seorang pemimpin yang independen.

Direktur Utama PT Shahanaz Swamandiri, ketua Tim Asistensi Departemen Pemenangan Pemilu DPP Golkar dan wakil ketua POKJA Depnaker-Rabithatul Ma’ahid Islamiah (RMI), Ketua Umum PP GP ANSOR, menggantikan Slamet Effendy Yusuf. Ia terpilih sebagai Ketua Umum pada Kongres GP ANSOR setelah bersaing ketat dengan Khoirul Anam (Ketua GP ANSOR Jawa Timur) yang konon mendapat restu dan dukungan dari Gus Dur (Ketua umum PB NU) Ia berhasil menembus peraturan yang mensyaratkan seorang calon ketua harus pernah menjadi pengurus GP ANSOR setidaknya satu periode kepengurusan. Ia berhasil meyakinkan peserta kongres untuk mengesampingkan peraturan tersebut, bahkan ia sukses menafikan pengaruh Gus Dur di Arena Kongres tersebut. Drh. Muhammad Iqbal Assegaf, meninggal pada hari… tanggal… 1999, kerena kecelakaan Mobil di Jalan Tol…. Menuju kearah Tangjung Priok. Meninggalkan seorang isteri dan 3 orang anak.

Sumber: Fauzan Alfas' Script

Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

Kontak


Dalam halaman ini PMII Cabang Kabupaten Bogor publish kontak. Anda bisa menghubungi kami melalui blog ini. Anda cukup mengisi komentar dan pada widget Pesan Singkat. Di samping itu Anda bisa menghubungi kami via phone dan email.


Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Cabang Kabupaten Bogor
Jawa Barat
Phone Number: +628568195462
Email : pmiibogor@yahoo.com
Facebook: pmiibogor@yahoo.com
Gabung dengan Twitter: Twitter
Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

Kepengurusan


Kami hadir untuk memberikan kemaslahatan bagi ummat manusia, secara umum bagi bangsa Indonesia, dan khususnya untuk Kabupaten Bogor tempat kami berjuang.


Di halaman ini, perkenalkan kami, jajaran Pengurus PMII Cabang Kabupaten Bogor. Semoga perkenalan kami bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Amien



Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

Profile PMII


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).


Sejarah

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU dari Masyumi.
4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

Selamat Datang


Tidak kenal maka tidak sayang. Tidak sayang maka tidak cinta pula. Tidak cinta maka tidak ada kepedulian. Hadir kami untuk Anda semua. Masyarakat, rakyat, Bangsa, Negara Indonesia. Hadir kami untuk kemajuan Indonesia. Hadir kami untuk pengabdian. Pengabdia mahasiswa untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia.

Perkenalkan, Kami bukanlah salah satunya. Kami adalah satu instrumen dari berbagai instrumen dan elemen golongan muda mahasiswa yang meneriakkan 'Sebuah Perubahan yang lebih Baik' bagi Indonesia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) hadir untuk mewarnai kebangkitan bangsa ini.

PMII hadir untuk mewujudkan Indonesia lebih baik. Dia lahir pada tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Dan kami, PMII Cabang Kabupaten Bogor hadir untuk memberikan konstribusi demi kemajuan Kabupaten Bogor secara luas. Kehadiran kami sebagai Mahasiswa yang mengabdikan diri untuk kemajuan Bogor. Semoga semangat kami untuk Bogor bisa terwujud dan diridloi oleh Allah SWT.
Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......
 

Pengikut

About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
PMII Cab. Kabupaten Bogor adalah sebuah gerakan mahasiswa Kabupaten Bogor. Anda semua bisa menghubungi kami via telp: +628568195462 dan email serta facebook di: pmiibogor@yahoo.com