Kondisi PMII Mirip dengan NU Tahun 1973

12/05/2009


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dideklarasikan pada 17 April 1960, dimotori oleh kalangan muda NU yang tergabung dalam Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Waktu itu mahasiswa NU sudah tidak nyaman di IPNU. Mungkin karena mereka sudah tidak berstatus pelajar lagi. Sementara organisasi kemahasiswaan yang ada tidak cukup bisa menjadi saluran aspirasi mahasiswa NU. Maka melalui proses yang berliku, terbentuklah PMII.

Namun pada 14 Juli 1971 melalui Deklarasi Murnajati PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun, termasuk NU. Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Inilah fase baru keterkaitan PMII dengan NU. PMII sudah bukan kepanjangan tangan NU; sudah tidak berkantor di PBNU. Hubungan PMII dan NU hanya sebatas kultural saja. Ada banyak sebab waktu itu, termasuk ketidakjelasan NU apakah sebagai ormas, atau partai politik. PMII tidak betah dengan itu. Sementara Orde Baru juga mulai melokalisir gerakan kemahasiswaan di dalam kampus masing-masing.



Masih dalam suasana peringatan hari lahir ke-49 PMII kemarin, A. Khoirul Anam dari NU Online sempat berbincang dengan salah seorang pendiri PMII M. Said Budairy di rumahnya Jl Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Sabtu (9/5). Said Budairy (73) adalah salah satu dari 13 tokoh mahasiswa dalam IPNU yang merintis pendirian PMII. Ia juga salah satu dari 3 orang perwakilan yang menghadap Ketua Umum PBNU KH Idham Kholid melaporkan rencana pendirian organisasi mahasiswa NU ini. Pada saat PMII dideklarasikan, Said Budairy menjabat sebagai sekretaris umumnya.

Bagaimana Anda melihat PMII sekarang?

Memang banyak kritik terhadap perkembangan PMII belakangan ini, terutama yang nampak di depan mata, di Jakarta dan sekitarnya, baik dari soal pemikiran keagaamaannya, juga soal pergerakannya. Sementara para seniornya yang sudah terjun ke masyarakat tidak cukup memberikan contoh yang baik. Nah karena Anda meminta hal ini, saya buka-buka kembali dokumen-dokumen yang saya punya terutama Deklarasi Tawangmangu. Dalam deklarasi itu lengkap mulai dari mau kema dan bagaimana PMII itu, hubungan dengan dengan NU dan sebagainya.

Ada keinginan sebagian kalangan tua agar PMII merapat lagi ke NU. Bagaimana menurut Anda?

Saya kira tidak perlu. Tarulah PMII terpotong pada tahun 73, di situ juga ada rumusan-rumusan tentang interdependensi PMII terhadap NU. Tapi di situ jelas sekali hubungan kulturalnya. Kalau kemudian terjadi penyimpangan itu nggak usah dari NU-nya lah, tapi penyimpangan-penyimpangan dari prinsip-prinsip yang dibangun oleh PMII sendiri. Nah kalau prinsip itu saja yang dipikirkan kembali dijadikan sarana untuk menyadarkan para sahabat PMII, mulai dari pengurus besarnya sampai ke tingkat bawah, saya kira ini salah satu jalan terbaik yang bisa ditempuh. Nah ini juga tergantung bagaimana PB PMII sekarang. Saya nggak tahu juga sikap mereka terhadap perkembangan para alumni PMII yang sekarang ada di berbagai organisasi politik.

Apa yang Anda amati dari para alumni PMII?

Saya terus terang aja risau. Ada dua mantan ketua Umum PB PMII yang membiarkan PKB kemasukan Artalita dan Sigid, gimana itu? Kemudian dua ketua umum ini berantem sendiri; antara Muhaimin sama Ali Masykur. Lalu, kalau merujuk kepada yang saya bilang tadi prinsip-prinsip dasar dan interdependensi PMII terhadap NU, mestinya tidak bisa membiarkan Nursyahbani itu. Kalau NU mendukung RUU Pornografi tapi Nursyahbani sebagai anggota fraksi PKB justru menentang itu. Ini kog bisa.

Itu yang di PKB. Lalu yang di PPP coba! Waktu itu Hamzah Haz mau mau digusur oleh Suryadharma bekerjasama dengan Bachtiar Chamsyah dari unsur Muslimin Indonesia (MI). Kemudian hamzah jatuh. Padahal bagaimanapun Hamzah itu ada hubungannya dengan PMII. Nah waktu itu Suryadharma maju dengan dukungan MI bersaing dengan Aris Mudatsir. Keduanya kader-kader utama PMII lah. Nah sekarang ini Arif Mudatsir membantu Bahtiar dari MI itu untuk memusuhi Suryadharma. Saya pikir mereka melakukan introspeksi begitu lah bagaimana membawa perahu PPP ini dengan warna yang dulu dirumuskan dalam PMII, ternyata tidak. Saya kira kalau mereka mau berangkat dari prinsip-prinsip PMII itu tidak akan terjadi.

Apa yang perlu dilakukan sekarang?

Jadi saya mendukung pemikiran bagaimana PMII kembali ke Khittahnya lah. Caranya berangkat dari deklarasi Tawangmangu itu, lalu deklarasi tahun 73 itu.

Sekarang para alumni bergabung di IKA-PMII

Nah sedihnya itu sekarang ketua alumninya si Arif Mudatsir, gimana jadinya itu. Sibuk boleh tapi kan dia ikut berantem. Kan ngeri juga. Saya harapkan back to basic-lah. Banyak perubahan karena sistem penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah, tapi substansi yang ada di situ itu masih sangat relevan untuk dipegangi.

Sebagai senior apakah anda sempat menjadi semacam pengengah begitu?

Saya sendiri pernah memanfaatkan posisi sebagai orang tua ketika PKB pecah. Saya kirim SMS kepada Muhaimin, Ali Masykur dan Efendy Choiri. Saya melihat memang Gus Dur waktu itu sudah tidak bener. Saya SMS tiga orang itu, sudahlah bergabung saja sama Muhaimin. Saya yakin muhaimin bisa melindungi anda. Nah yang mau mengikuti saran saya itu sepertinya Effendy, meskipun dia tiadk balas SMS saya tapi saya perhatikan perilakunya. Ali Masykur tidak menjawab. Hanya Muhaimin yang menjawab, terimakasih begitu. Nah itu pernah saya lakukan. Nah kalau sekarang ini ada krisis yang baru lagi ini di PPP, mungkin saya perlu juga melakukan hal yang sama, namun mungkin sesudah proses pertarungannya selesai nanti.

Sepertinya fragmentasi di tingkat alumni ini menurun sampai ke bawah

Ini karena mereka kehilangan pegangan awalnya, prinsip yang dulu dijadikan bergerak. Sekarang mereka semaunya sendiri. Idealismenya sudah tertutup jadi pragmatis. PMII ini sudah 49 tahun. Insyaaallah sekarang ini mirip dengan kondisi NU pada tahun 1973. Waktu itu warga NU terombang-ambing; apakah NU ini ormas apa partai. Akhirnya kiai-kiai bergerak sampai kemudian terfikir untuk kembali ke khittah NU 1926. Saya pikir kalu pendekatan itu yang dilakukan di PMII saya kira bisa juga.

PMII kembali ke Khittah yang mana?

Jadi ada sekian banyak pokok-pokok pikiran yang ada di PMII, mulai Deklarasi Tawangmangu, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan Yogyakarta, Penegasan Yogyakarta, Gelora Mega Mendung, Panca Norma Kopri, Tri Sikap Jakarta. Ada juga Memorandum Politik, Deklarasi Munarjati, Manifes Independensi Pmii, Pola Kepemimpinan, Pernyataan Ciloto, Pokok-pokok Pikiran Ciloto, Pokok Pikiran Tentang Pemilu, Penegasan Cikogo, Pokok-pokok Pikiran Mubes ke-4 PMII, Rekomendasi Mubes IV PMII, Pokok-pokok Pikiran Kongres ke-10, Pernyataan Politik Kongres ke-10, Keputusan Pondok Gede, Deklarasi Interdependensi PMII dengan NU, Implementasi Interdependensi PMII NU, Pokok-pokok pikiran rekomendasi Musyawarah I, Rekomendasi Kongres ke-11, dan lain-lain. Saya kira dari perumusan ulang dari membaca kembali dokumen dokumen ini bisa menjadi perumusan Khittah PMII.

Dalam kontek para alumni PMII pada berantem tadi, apa yang bisa Anda sampaikan sebagai orang tua kepada kader PMII sekarang?

Jadi begini, kadang-kadang yang tua itu sudah lupa bagaimana perjalannya sebelumnya. Yang masih fresh ingat itu justru yang masih di lapangan, yang sekarang ini aktif. Saya kog ingin supaya PB PMII menyurati mereka itu. Ungkapkan yang saya sampaikan tadi itu demi kehormatan PMII, supaya masalah itu bisa teratasi. Supaya alumni PMI itu menjadi satu kekuatan meskipun dalam wadah yang berbeda beda. Itu yang saya pikirkan. Sebab kalau PBNU yang ngingetin juga sudah tidak relevan lagi. Kalau perorangan seperti saya juga tidak. Tapi kalau PB PMII nya kan pantes-pantes saja. Dan juga supaya diingat agar dalam kaderisasi itu berantem seperti itu jangan sampai terjadi pada masa yang akan datang.

Bagaimana Anda melihat Kiprah dari Ketua Umum PB PMII sekarang?

Saya sering melihatnya di Face Book. Ini memang jadi sebuah sarana berkomunikasi yang lebih terbuka. Tapi saya kira wibawa sebagai ketua umum itu perlu dijaga. Aktivitas macem-macem nggak perlulah itu ditunjukkan di Face Book. ***

Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......

IPNU-IPPNU Gantikan PMII?

SURAT TERBUKA UNTUK PBNU: IPNU-IPPNU Gantikan PMII?
30/06/2009
Oleh Munandar Nugraha Saputra

Setiap kelompok yang menginstitusikan diri, selalu dan pasti, memiliki visi dan misi yang baik; minimal baik bagi komunitasnya, dan maksimalnya dapat memberikan sumbangsih kebaikan tersebut kepada khalayak publik, bangsa dan negara.

Dalam konteks keorganisasian, khususnya organisasi kepemudaan, juga memiliki tampilan yang serupa. Ketika didirikan, ia memiliki visi dan misi yang ideal, bahkan dilandasi dengan ideologi yang disepakati dan menjadi kesepakatan bersama. Selanjutnya dalam perjalanannya pasti akan ada pasang surut. Ini sangatlah wajar dan manusiawi.


Organisasi seperti PMII misalnya, selain wadah untuk menampung mahasiswa nahdliyin, melakukan proses kaderisasi yang berfungsi membangun dan mengembangkan potensi kader, agar dapat berguna bagi bangsa dan Negara (pandangan hidup), juga memiliki fanatisme organisasi (ideologi); bahwa PMII lebih baik dari HMI, IMM, dan lainnya. Bahkan mungkin juga lebih baik dari IPNU/IPPNU, yang dalam sejarahnya dilahirkan dari rahim yang sama. Ya, jika perasaan ini yang dikedepankan, pasti! Kita tidak akan dapat bersinergi, dan tentunya ini sangat merugikan kita.

Garis sejarah, memang tidak dapat diubah dan dipungkiri. Maka saya pikir kita juga perlu melihat kontekstualisasi permasalahan terkait kritik yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan Khofifah (Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU) dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Dikatakan bahwa kader PMII tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. ”PMII tidak optimal melakukan proses kaderisasi NU di tingkat kampus, dan Banyak kader PMII yang sudah mulai meninggalkan tradisi nahdliyin. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?” (NU Online, Senin 22/6).

Saya pikir yang mesti dipahami bersama adalah, bahwa PMII adalah organisasi yang independen dari NU, dan hal ini harusnya menjadi pemahaman bersama, baik dalam konteks wacana maupun gerak, benar bahwa secara kultural PMII masih memiliki keterkaitan emosional seperti yang saya sebut di atas. Lalu dalam perkembangannya, dengan mengaktualisasikan wacana dan gagasan pluralisme, PMII berkembang menjadi organisasi yang inklusif. Artinya, jika para pengurus NU memahami hal ini dalam perspektif struktural organisasi dan perkembangan PMII, tidak selayaknya kritik itu disampaikan dalam Kongres IPNU/IPPNU.

Sekalipun dalam perspektif lain, kita dapat pahami bahwa NU masih membutuhkan PMII sebagai basis kaderisasi di perguruan tinggi. Karena kita memang butuh kritik untuk berbenah. Bahasa yang sering disampaikan kepada para kader adalah “mengkritik bukan berarti tidak mendukung, dan mendukung juga bukan berarti tidak mengkritik.” Jadi sebagai kader PMII, saya mengucapkan terimakasih, karena jika kita tanggapi dengan bijak ini juga dapat bermanfaat.

Kita memang mengalami kesulitan dalam proses rekruitmen dan kaderisasi, khususnya di kampus-kampus umum. Tetapi ini bukan hanya dialami oleh PMII, hal yang sama juga dialami oleh OKP-OKP yang lain. Pertanyaannya, apakah hal itu tidak dialami oleh IPNU/IPPNU? Basis garapan PMII adalah kampus-kampus, lalu dimana basis real garapan IPNU/IPPNU? Ini penting untuk kita rumuskan dan sepakati bersama, karena memang hanya di Indonesia yang memiliki perbedaan status antara pelajar (siswa SD-SMU/sederajat) dan mahasiswa (siswa di perguruan tinggi), keduanya masih pelajar, yang di dunia lain di sebut student. Saya melihat dan memahami, pernyataan dan kritik terhadap PMII, yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi dan Khofifah tersebut sangat emosional dan cenderung menyudutkan, tidak konstuktif.

Pernyataan Khofifah, "kader PMII yang tidak konsisten memperjuangkan nilai Aswaja. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?”. Saya pikir ini adalah pernyataan yang sangat tidak aswaja. Ya, penting bagi kita untuk memahami setiap permasalahan sesuai konteks (nilai-nilai Aswaja). Saya berproses di PMII melalui Komisariat Universitas Nasional, kampus umum. Ketertarikan saya terhadap PMII lebih pada wilayah kajian-kajian sosial dan gerakan advokasi, bahkan ada beberapa kader yang saya rekrut yang memiliki dasar kultur keluarga Muhammadiyah, dan ini terjadi hampir disetiap kampus umum, bahkan ada beberapa kader UNAS yang beragama Kristen Protestan. Jangankan tahlil, subuh saja tidak menggunakan qunut, bahkan ada yang tidak sholat. Apakah kader yang ingin berproses ini harus dipecat dari PMII?

Wacana ke-Islaman yang rahmatan lil alamin dan ke-Indonesiaan yang selama ini kita dengungkan dan terekspresi dalam derap langkah perjuangan nahdliyin, apakah akan kita jadikan sebagai teks dan wacana belaka? Artinya kita akan mengalami proses kemunduran dalam derap langkah perjuangan kita.

Semestinya kita dapat berjuang dengan mengunakan segala potensi yang kita miliki sebagai kekuatan yang saling melengkapi, perbedaan karakter dan pola gerak, justru seharusnya memperkaya kita dalam khasanah strategi, karena memang sudah sunatullah bahwa kita diciptakan berbeda-beda. Jika memang PBNU merasa penting untuk membuat organisasi kemahasiswaan yang khusus untuk menjaga tradisi NU, dan berada di bawah kontrolnya, saya pikir sah-sah saja (mendorong IPNU/IPPNU untuk menggantikan PMII, atau lebih tepatnya mendorong IPNU/IPPNU menjadi basis kaderisasi NU di Perguruan Tinggi).

Tetapi jangan pernah berpikir untuk menarik PMII berada dibawah garis struktural PBNU seperti pada awal terbentuknya (karena inilah perkembangan zaman yang harus dilihat dari perspektif hari ini). Apalagi berpikir untuk mempolitisasi PMII sesuai dengan kebijakan politik PBNU, jangan, jangan lakukan itu! Biarkan PMII menjadi dirinya sendiri, sebagai bagian dari warga NU yang berposisi dengan posisinya.

Kita memiliki “PR” besar bagi bangsa ini, yang lebih penting untuk kita tuntaskan. Saya ingin sedikit berceloteh, jika memang NU merupakan organisasi terbesar dengan umat terbanyak, dengan segala potensi yang dimilikinya, mungkinkah dapat mensejahterakan sebagian besar umat nahdliyin yang masih berada dibawah garis kemiskinan? Tidak mungkin, tanpa bersinergi dengan kekuatan dan potensi-potensi lain di luar NU.

Semoga kita dapat bersinergi untuk menuntaskan segala permasalahan bangsa ini, dengan mengedepankan segala potensi yang kita miliki, karena untuk menuntaskan permasalahan bangsa ini kita membutuhkan berbagai potensi untuk bersinergi. Jangan sampai harapan untuk berbuat sesuatu justru menghilangkan sesuatu yang ada.

* Penulis adalah Ketua PMII Cabang Jakarta Selatan
Posted by: PMII Cabang Kabupaten Bogor

Read More......
 

Pengikut

About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
PMII Cab. Kabupaten Bogor adalah sebuah gerakan mahasiswa Kabupaten Bogor. Anda semua bisa menghubungi kami via telp: +628568195462 dan email serta facebook di: pmiibogor@yahoo.com